Pencarian Di blog Indah

Maaf Yang Tak Terucapkan Oleh Indah


Yuli berusaha keras masuk ke dalam kereta yang penuh sesak itu, dia beruntung ada seseorang di belakangnya yang mendorong tubuhnya untuk dapat masuk ke dalam kereta.

"Jangan dorong-dorong dong, mbak," ujar seorang ibu yang berada didepan Yuli.

"Bukan saya, Bu. Saya juga di dorong. Ya namanya juga di kereta," timpalku.

Muka ibu itu merengut saja sambil ngedumel sendiri. Daripada jadi panjang pikirku, lebih baik aku segera pasang headset ke telingaku. Ya, pagi ini aku sedikit telat berangkat dari rumah, karena Mbak Narsih pengasuh dari kedua anakku tidak datang. Dia sakit. Jadi aku harus mengalami pagi yang panjang. Ditambah suamiku, Mas Pras sedang ke luar kota mengurus pameran dari kantornya sejak beberapa hari yang lalu.

Tibalah di stasiun yang aku tuju, aku bergegas menghampiri ojek online yang sudah ku pesan saat tadi di dalam kereta.

"Ibu Yuli ya?" Tanya Supir Ojek Online itu.

"Iya Pak," jawabku.

Walaupun aku sudah berjuang agar datang tepat waktu, tapi tetap saja aku telat. "Pukul delapan lebih satu menit," batinku. Lalu segera aku menaruh tasku dan mulai bekerja. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan saat Ria datang menghampiri meja kerjaku.

"Mbak Yuli, dipanggil Pak Aryo."

"Terima kasih Ria."

"Ah paling Pak Aryo marah-marah lagi karena aku telat," batinku. Sudah sebulan Aryo menduduki jabatan Kepala Bagian di Bagian Sekretariat. Sebelumnya Aryo adalah Kepala Bagian di Bagian SDM. Sebenarnya Yuli dan Aryo pernah berpacaran dulu ketika mereka berdua masih sama-sama di Bagian SDM. Namun Yuli lebih memilih menikah dengan Pras ketimbang dengan Aryo. Aryo menjadi sakit hati sampai sekarang. Sejak Yuli menikah dengan Pras, Aryo menjadi sosok yang terobsesi dengan pekerjaan hingga akhirnya dia dinaikkan jabatannya menjadi Kepala Bagian.

Ketika Aryo ditempatkan satu bagian lagi dengan Yuli, disitulah kesempatan Aryo untuk mencari kesalahan Yuli. Seperti saat ini Yuli habis-habisan dimarahi Aryo.

"Kamu harus profesional dong kalau kerja. Jangan sampai karena masalah di rumah, pekerjaan kamu terbengkalai."

"Maaf Pak Aryo, saya juga sudah berusaha untuk sampai kantor tepat waktu."

"Ah kamu itu banyak alasan. Pokoknya saya ga mau tahu, kalau besok kamu datang telat lagi, saya akan keluarkan SP untuk kamu! Saya ga suka bawahan saya datang telat! Sudah, sana kerja lagi!" Bentaknya.

"Baik Pak," sahutku.

Sosok Aryo memang sudah banyak berubah, sekarang dia bagai harimau yang lapar. "Sebegitu terlukakah Aryo hingga dia menjadi pria arogan seperti itu?" Batinku sambil melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda hanya untuk mendengar ocehan Aryo.

Pukul dua belas tepat, Ria datang lagi menghampiriku.

"Mbak, ada wanita muda didepan ruangan, mau bertemu mbak Yuli. Namanya Lidya."

"Ha? Lidya? Kesini?"

"Iya Mbak, tuh di depan. Aku duluan ya Mbak, ada janji makan siang sama temen."

"Terima kasih ya Ria."

Aku menuju ke depan ruangan. Duduklah seorang wanita muda dengan rambut panjang tergerai.

"Kak Yuli," sahutnya sambil memelukku. Lidya adalah adikku satu-satunya yang baru saja lulus kuliah.

"Kamu kesini sendirian?"

"Iya Kak, aku kan masih harus kontrol ke dokter," sahut Lidya. Sebulan yang lalu Lidya menjalani operasi kista dan dia masih harus bolak balik mengecek jahitan pasca operasinya di Rumah Sakit tempat aku bekerja.

"Tunggu sebentar ya Lidya, aku ke pantry dulu, ambil minum untukmu."

"Kak Yuli ga usah."

"Udah, ga apa-apa. Teh hangat, kan? Sebentar ya. Jangan kemana-mana."

Lalu Yuli menuju pantry membuat teh hangat untuk adiknya. Ketika Lidya sedang menunggu kakaknya sambil membaca surat kabar yang ada di meja. Tiba-tiba Aryo lewat.

"Ibu tunggu siapa?" Tanya Aryo.

Namun belum sempat Lidya menjawab, Aryo sudah berkata, "Ibu, sekarang jam istirahat, para pegawai sedang makan siang. Sebaiknya Ibu datang lagi sekitar jam satu."

"Tapi Pak..."

"Oke biar saya bantu. Nama Ibu siapa dan keperluannya apa?"

"Nama saya Lidya, saya ingin bertemu kakak saya dan sekarang dia sedang di pantry membuatkan teh untuk saya."

"Oh jadi Ibu sudah bertemu dengan kakak ibu? Hahahaha. Ibu Lidya tidak bilang dari tadi?" Kata Aryo tertawa terpingkal-pingkal.

"Bapak sih tidak kasih saya kesempatan untuk bicara," ujar Lidya sambil tersenyum.

"Perkenalkan saya, Aryo. Jangan sungkan ya. Silahkan menunggu tehnya. Saya mau makan siang dulu. Atau Ibu Lidya mau ikut makan siang dengan saya?"

"Oh tidak, terima kasih Pak Aryo. Saya makan siang nanti saja dengan kakak saya."

Aryo pun pergi keluar ruangan kantor. Dan tak beberapa lama Yuli datang membawa secangkir teh.

"Nah, ini tehnya. Ayo di minum."

"Hmmm.. Pasti enak teh buatan Kak Yuli. Oh iya ngomong-ngomong kita makan siang diluar yuk. Pasti Kak Yuli belum makan kan?

"Iya, Kakak memang belum makan. Baru saja mau cari makan diluar, eh adik kakak yang cantik ini datang."

Lalu mereka berdua pergi makan siang bersama. Setelah makan siang Yuli bergegas kembali ke kantor. Sedangkan Lidya menuju halte menunggu angkutan umum. Ketika Lidya sedang menunggu, Aryo berjalan melewatinya.

"Pak Aryo!"

"Eh Ibu Lidya, udah mau pulang ya?"

"Iya nih, ini lagi nunggu angkutan umum."

Akhirnya Aryo dan Lidya berbincang-bincang di halte tersebut. Cukup lama mereka berbincang sambil bersenda gurau, bahkan Lidya sampai sengaja melewatkan beberapa angkutan umum yang akan dia naiki. Mereka mengakhiri pertemuan itu dengan saling menukar nomor telpon masing-masing.

Di kantor Yuli merasa heran karena sudah jam dua lebih Aryo belum datang. Biasanya Aryo selalu tepat waktu, jam satu sudah ada di mejanya dan mulai mencari-cari kesalahan Yuli. Dari masalah mengenai laporan yang salah ketik sampai persoalan meja kerja Yuli yang berantakan penuh dengan dokumen. Dan hari ini Aryo kemana? Bukan cuma Yuli yang keheranan, namun seluruh staff di Bagian Sekretariat juga ikut keheranan. Tak beberapa lama masuklah Aryo ke ruangan, lalu dia duduk di meja kerjanya. Biasanya Aryo langsung fokus tertuju pada laptopnya. Tapi kali ini, Aryo terlihat asyik dengan handphone-nya sambil tersenyum-senyum sendiri. Sore itu Aryo benar-benar tenang, tidak seperti pagi tadi yang terlihat bagai harimau kelaparan. Suasana di kantor damai untuk sesaat.

Tepatnya pukul lima aku bergegas pulang. Sesampainya dirumah, aku menjemput anak-anakku yang aku titipkan pada tetangga sebelah. Dan malam hari seperti biasanya, aku mendongengkan cerita sebelum anak-anakku tidur. Selesai mendongeng dan mereka sudah terlelap, aku tutup pintu kamar mereka. Aku dikejutkan oleh suara motor yang memasuki halaman rumahku. Dan ternyata itu adalah Mas Pras.

"Katanya pamerannya seminggu, koq baru beberapa hari sudah pulang?"

"Iya kata Bos, aku disuruh urus pameran yang diadakan dikota ini saja, karena kebanyakan disini anak-anak baru. Sedangkan yang diluar kota sudah berpengalaman."

"Oh begitu, aku pikir ada masalah, Mas. Kalau begitu aku tidur duluan ya. Sudah cape."

"Iya, aku mau nonton tv dulu."

Paginya Mbak Narsih sudah di rumah, menyiapkan sarapan untuk anak-anakku.

"Sudah sehat, Mbak?"

"Sudah, Bu."

Lalu aku berangkat kerja. Situasi dikantor hari ini tidak jauh berbeda dengan kemarin sore, Aryo masih sibuk dengan handphone-nya.

"Bagus lah, jadi Aryo tidak perlu lagi cari-cari kesalahanku," batinku.

Namun suasana menjadi berbeda ketika handphone-ku berbunyi disore harinya.

"Halo Mas Pras. Ada apa?"

"Mau aku jemput ga? Kebetulan bisa pulang cepat nih. Pameran lagi sepi."

"Iya boleh, nanti aku tunggu didepan halte rumah sakit ya."

"Oke sayang." Ujar Mas Pras, lalu menutup telponnya.

Sementara Aryo memandangiku dengan sinis. Lalu tak beberapa lama dia menghubungi seseorang.

"Halo Lidya. Lagi apa? Mau makan malam denganku?"

"Halo Aryo. Iya boleh. Tapi kamu jemput aku kerumah ya, kayak biasa."

"Oke aku jemput ke rumahmu seperti biasa."

Dan Aryo pun menutup telponnya. Selintas aku berpikir, "Lidya? Namanya mirip dengan nama Adikku. Ah mungkin Lidya yang lain."

Sekitar setengah jam aku menunggu Mas Pras di halte. Akhirnya dia datang juga.

"Kita ke restoran dulu ya. Kamu lupa ya hari ini ulang tahun pernikahan kita?"

"Ya ampun Mas. Aku lupa. Maafin aku ya. Terus anak-anak di rumah bagaimana?"

"Aku tadi sudah sms Mbah Narsih, aku bilang kita berdua pulang malam dan nanti dia aku beri uang tambahan."

Sesampainya di restoran, kami pun duduk dan mulai memilih menu. Selagi kami memilih menu, ada seorang wanita menghampiriku.

"Kak Yuli disini juga?"

"Lidya?? Aku pikir kamu pelayan."

"Ih Kak Yuli jahat," kata Lidya dengan wajah merengut.

"Kamu kesini sama siapa, Lidya?" Tanya Mas Pras.

"Itu tuh sama pria yang duduk dipojok itu," sahut Lidya.

Aku dan Mas Pras menengok kearah yang ditunjuk Lidya.

"Aryo?" sahut Aku dan Mas Pras bersamaan penuh rasa terkejut.

"Jadi kamu kesini dengan Aryo?" Tanyaku memastikan.

"Kak Yuli kenal dia? Dia satu kantor dengan kakak. Aku belum sempat cerita pada kakak.Tapi Aku sudah kenalkan pada Ayah dan Ibu."

"Tentu saja aku kenal, dia itu kan mantan pacarku," sahutku.

"Ehem.. Ehem.. Ehem..." Mas Pras berdehem meledekku.

"Tapi itu masa lalu. Apa Aryo sudah tahu kalau kamu adalah adikku?"

"Aku belum cerita tentang kakak. Tapi Kak, tadi dia baru saja memintaku jadi pacarnya," ujarnya tersenyum bahagia.

"Sebaiknya kamu cerita pada Aryo," kata Mas Pras.

"Kalau begitu sekalian saja sekarang aku perkenalkan pada kalian berdua," kata Lidya. Lalu ia berjalan ke arah Aryo dan menuntunnya untuk menghampiri kami berdua.

"Aryo, perkenalkan ini kakakku dan suaminya," sahut Lidya memperkenalkan kami berdua.

"Jadi kamu adiknya Yuli?" Tanya Aryo kaget.

"Iya. Kenapa?" Tanya balik Lidya.

Lalu Aryo pergi berlalu, sepertinya dia masih belum terima kalau Lidya adalah adiknya Yuli. Lidya mengejarnya, "Aryo! Tunggu!"

Sementara Yuli dan Pras berpikir kalau mereka tidak perlu ikut campur dengan urusan pribadi antara Aryo dan Lidya. Lidya terus berlari mengejar Aryo ke tempat parkiran.

"Aryo, tunggu! Apa masalahnya? Apa karena aku adiknya Yuli, maka cintamu pudar begitu saja?

Langkah Aryo terhenti. Dia terdiam.

"Aryo, maafkanlah kakakku. Tapi aku dan dia berbeda. Aku mencintaimu, Aryo."

Lalu Lidya memeluk Aryo dari belakang dan dia berkata, "Tolong jangan tinggalkan aku, Aryo."

Sesaat terlintas kilasan masa lalu ketika Yuli memutuskan hubungan mereka berdua.

"Tolong jangan tinggalkan aku, Yuli," pinta Aryo menggenggam tangan Yuli.

"Maaf Aryo, aku merasa ketidakcocokan antara kita. Sekali lagi, maaf," kata Yuli.

Lalu Yuli melepaskan genggaman tangan Aryo dan pergi menghilang. Saat itu Aryo hanya berdiri, terdiam terpaku memandangi kepergian Yuli. Dan sejak itu Aryo tidak pernah menyapa ataupun membalas sapaan dari Yuli. Hatinya terlalu sakit, karena mimpinya bersama Yuli sirna begitu saja. Terlebih saat surat undangan itu sampai di tangannya. Seisi kantor membicarakan pernikahan Yuli. Dan disaat hari pernikahan Yuli pun Aryo tidak menghadirinya. Aryo memilih untuk mengurung diri di dalam kamar.

"Aryo," ujar Lidya, membuyarkan lamunannya.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Lidya cemas.

"Iya, aku baik-baik saja," jawab Aryo sambil menatap kedua mata Lidya yang hampir meneteskan air mata.

"Jangan tinggalkan aku, Aryo," pinta Lidya sekali lagi.

Lalu Aryo memegang kedua pipi Lidya dan berkata, "Tidak akan, sayangku."

Aryo sadar kalau dia harus mengikhlaskan semua yang telah terjadi antara dia dan Yuli. Karena kini Aryo memiliki Lidya yang jauh lebih mencintainya. Diam-diam dari kejauhan Yuli dan Pras memperhatikan mereka. Dilubuk hati Yuli terdalam mengetahui bahwa Aryo sudah dapat memaafkannya.

(TAMAT)




Tidak ada komentar: