Pencarian Di blog Indah

Cinta Apa Adanya Oleh Indah



Ku kayuh sepedaku sekencang mungkin, mengejar rombongan peserta Fun Bike yang lainnya. Angin seakan menampar wajahku. Aku tak peduli, yang aku pikirkan hanya satu yaitu teman-temanku yang berada didepan sana. Ya, pagi ini aku terlambat bangun, padahal aku sudah berjanji untuk datang tepat waktu pada ketiga temanku, Rani, Tiara dan Susi. Mereka memang hobi bersepeda dari semenjak sekolah, tapi tidak denganku. Aku ikut bersepeda dan rajin mengikuti acara Fun Bike, hanya karena aku masih jomblo alias belum menikah, walaupun usiaku tahun depan sudah kepala tiga. Sedangkan mereka? Mereka bertiga adalah pecinta sepeda dan mereka semua sudah menikah. Jadi niat mereka ikut Fun Bike karena hobi, bukannya hanya mengisi waktu kosong sepertiku.

Ya, di usia menjelang kepala tiga ini, semua orang seolah sibuk mencarikan aku pria untuk dijadikan suami. Seperti Tante Mira yang tiba-tiba mengenalkanku dengan pria yang bahkan dia sendiri belum mengenalnya sama sekali. Tante Mira bilang, "Dian, kenalin nih.. Hmm.. Siapa ya namanya? Saya lupa." Tante Mira melirik ke arah pria itu sambil tersenyum malu. "Eko, Tante. Namaku Eko," Jawabnya sambil membalas senyuman Tante Mira.

Oke, cukup, itu adalah upaya Tanteku yang penuh perhatian pada ponakannya yang cantik ini. Kalian harus tahu bagaimana upaya Ibuku agar anak perempuan satu-satunya ini mendapatkan jodohnya. Tebak apa yang Beliau lakukan? Ibu memasang iklan biro jodoh di salah satu surat kabar nasional di negara ini. Ya ampun se-Indonesia seakan tahu kalau aku "belum laku." Aku tahu akan hal itu secara tidak sengaja, ketika Ibu sedang membicarakannya pada Bapak sambil menunjukan surat kabar itu. Lagipula jaman sekarang kan jaman internet, kenapa juga harus memasang iklan biro jodoh disurat kabar? Aku tidak dapat membayangkan seperti apa kriteria pria yang bergabung di biro jodoh itu. Hmmm.. Mungkin pria berkacamata dengan rambut klimis dan gayanya kalem, juga baju berkemeja dimasukkan kedalam celana bahannya. Ough... Itu bukan kriteriaku...

Bagaimana dengan Bapakku? Jangan pernah berpikir kalau Bapakku itu tidak melakukan apa-apa agar aku cepat mendapatkan jodoh. Bapak itu adalah seorang yang sangat mempercayai mistis. Beliau percaya jika seseorang belum mendapatkan jodohnya berarti auranya tertutup dan itu berarti aku harus dibuka auranya. Lalu bagaimana caranya? Ya, caranya adalah ke paranormal atau "orang pintar" (masyarakat awam menyebutnya seperti itu). Pernah saat pulang ke kampung halaman bapak, aku dibawa ke "orang pintar" dan dia meminta kami untuk membeli kain dengan corak bunga tujuh warna. Menurutku itu sungguh aneh, bagaimana mungkin ada kain dengan corak seperti itu? Akhirnya kami hanya dapat menemukan kain dengan corak bunga tiga warna. Setelah itu aku harus mandi dimalam hari. Bbbrrrr... Dinginnya! Bahkan Kakak dan Adikku berhasil meledekku. "Kakak kayak ga laku aja, pakai mandi kembang segala hahaha," ujar Adikku Rafael sambil tertawa meledek. "Iya ya, kamu kayak ga laku aja, Dian hahaha," balas Kakakku Romi sambil tertawa juga.

Cukup dengan segala upaya pencarian jodoh untukku oleh orang-orang yang menyayangiku. Sebenarnya aku tidak begitu bermasalah dengan status jomblo ini, karena pekerjaanku sebagai marketing dari salah satu leasing mobil sudah cukup menyita waktuku. Mayoritas teman-temanku pria dan sudah menikah, bahkan mereka sudah memiliki anak. Terkadang pun ada konsumen yang berusaha menggodaku di whatsapp atau BBM, namun aku ini professional. Intinya aku benar-benar ingin meniti karirku, tapi jika dapat bertemu jodohku juga, ya itu bagus.

Sepedaku terus melaju, hingga akhirnya aku bisa sejajar bersepeda dengan Rani, Tiara dan Susi.

"Hai Dian, kamu datang juga?" Tanya Susi.

"Iya Dian, aku pikir kamu masih didunia mimpimu hahaha." Ledek Rani.

"Hahaha iya, aku pikir juga begitu. Ayo balap aku, Dian! Ujar Tiara menantangku.

"Oke, aku pasti bisa membalapmu." Aku tantang balik Tiara, padahal aku tidak yakin dapat mengalahkannya. Ini saja aku sudah kelelahan.

Rute Fun Bike hampir kami selesaikan dan kami pun bersepeda secara berurutan, paling depan Tiara, lalu Rani, Susi dan paling belakang adalah aku. Dikarenakan Fun Bike diadakan bertepatan dengan adanya Car Free Day, jadi untuk masuk ke area Finish harus mengalah dengan pejalan kaki. Aku agak kebingungan mencari celah jalan, karenanya aku agak tertinggal dari teman-temanku didepan. Lalu tiba-tiba ada seorang pria dengan sepedanya disampingku, dan sepedaku hampir jatuh kepadanya.

"Oh, maaf ya." Kataku.

"Iya tidak apa-apa koq." Balasnya tersenyum.

Lalu aku kembali mengayuh sepedaku karena kulihat ada celah jalan menuju area Finish. Sesampainya di area finish, aku berhenti dan istirahat sejenak, karena aku cukup kelelahan. Tiba-tiba dihadapanku ada pria tadi. Iya, pria yang tadi hampir kejatuhan sepedaku.

"Cape ya?" Tanya dia.

"Iya." Jawabku tersenyum.

"Kamu sendirian? Oh iya perkenalkan, aku Anton." Tanyanya lagi sambil memperkenalkan dirinya.

"Aku dian. Aku kesini dengan teman-temanku." Jawabku.

"Ohh.. Teman pria?"

"Hmm.. Bukan.. Bukan... Teman wanita"

Tidak berapa lama ada suara teriakan memanggil namaku.

"Diannnn!!!" Teriak Rani memanggilku keras sambil melambaikan tangannya. Mungkin seluruh orang disekitar sini pun mendengarkannya.

"Iya sebentar." Balasku, namun tidak sekeras teriakan Rani.

"Aku ke teman-temanku dulu ya." Pamitku pada Anton.

"Tungguu... Boleh minta nomor whatsapp-mu?" Tanya Anton.

"Iya boleh, sebentar... 0813112233." Jawabku.

"Oke, nanti aku whatsapp ya." Kata Anton.

"Iya. Aku tunggu." Balasku.

"Ups... Apa yang aku bilang tadi? Aku tunggu? Seakan-akan aku terlihat begitu berharap." Batinku.

"Dian, itu siapa?" Tanya Rani penasaran.

"Paling teman kerja kamu ya?" Tebak Susi.

"Lumayan tuh, tapi dia udah nikah ya?" Tanya Tiara penuh selidik.

"Ahh kalian ini. Ayo kita ambil snack-nya. Aku udah lapar nih." Ujarku berusaha menghindari pertanyaan mereka..

Sore itu ketika aku sedang mendengarkan musik di laptopku, tidak berapa lama ada bunyi whatsapp. Lalu ku buka pesan di whatsapp, ternyata dari nomor yang belum tersimpan.

>> Sore, Dian. Lagi apa?

Aku simpan nomor tersebut dan ku lihat foto profilnya. Oh ternyata itu nomor anton. Lalu aku pun membalasnya.

Lagi dengar musik. Kamu lagi apa? <<

>> Aku baru selesai cuci sepeda. Oh iya kamu ada acara ga nanti malam?

Ga ada. Kenapa? <<

"Aku yakin Anton pasti mau mengajak aku jalan nanti malam. Asik!" Batinku.

>> Mau jalan ga nanti malam?

"Benar kan tebakanku." Batinku lagi, sambil tersenyum-senyum sendiri.

Kemana? <<

>> Nonton, makan, ngobrol, nyanyi karokean. Kalau kamu mau.

Boleh. Kita ketemu dimana? <<

>> Kita ketemu di Mall Mase aja ya.

Wokehh, boleh juga. <<

>> Nanti aku kabari lagi.

Sipp. <<

Aku segera bersiap-siap, dandan secantik mungkin. Aku sampai lupa kapan terakhir kali aku berdandan untuk bertemu dengan seorang pria. Malam itu adalah malam yang indah. Kami berdua makan sambil berbincang dan saling mengenal diri kami satu sama lain. Lalu diakhiri dengan berkaraoke ria yang diiringi senda gurau.

Anton memang bukan pria kaya, namun dia sangat menarik untuk diajak ngobrol. Ternyata kantor Anton bersebelahan dengan leasing tempat ku bekerja. Malam itu aku pulang diantar oleh Anton. Dan kalian tahu, kedua orang tuaku sangat ramah pada Anton, seakan Anton adalah seorang pangeran yang akan membebaskanku dari kutukan jomblo. Anton pun dapat memakluminya, karena aku sudah menceritakan semuanya pada Anton. Entahlah mengapa aku dapat menceritakan hidupku padahal aku baru sehari kenal Anton.

Sebulan kemudian Anton untuk pertama kalinya mengundangku makan malam dirumahnya. Hal ini membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Malam Pak.. Malam Bu.." Sapaku kepada kedua orang tua anton yang sedang duduk dikursi kayu diteras rumahnya.

Rumah Anton begitu sederhana, diteras terdapat kursi dan meja kayu, sepertinya disitulah adalah tempat kedua orang tua Anton sering berbincang-bincang. Lantai rumahnya hanya disemen. Tembok rumahnya warnanya hampir pudar, entah sudah berapa lama rumah itu belum di cat ulang. Atap rumah dari kayu, sepertinya belum sempat diselesaikan oleh pemiliknya.

"Ini pasti Nak Dian, ya?" Ujar Ibunya Anton.

"Iya Bu, saya Dian."

"Mari masuk, Nak. Maaf lho kalau rumahnya kurang bagus." Kata Bapaknya Anton mempersilahkanku masuk.

Didalam rumah Anton sudah diberikan karpet dan banyak sekali makanan sudah dihidangkan ala prasmanan. Datanglah seorang perempuan muda menggendong anaknya sambil membawa piring berisikan ikan mas goreng. Sepertinya itu Tini, Adiknya Anton yang pernah Anton ceritakan. Tini ditinggal pergi oleh suaminya yang tidak bertanggung jawab. Kabarnya suaminya sudah menikah lagi dan tini ditinggalkan begitu saja dirumah kontrakan mereka sewaktu tini sedang mengandung anak mereka.

"Ayo Kak Dian, duduk, dimakan." Kata Tini.

"Iya, Tini. Terima kasih." Sahutku tersenyum.

Lalu kami berenam, Aku, Anton, Bapak dan Ibunya Anton, Tini juga anaknya yang bernama Ali berkumpul menikmati makan malam yang sederhana, tapi menyenangkan, karena penuh dengan canda gurau. Sesekali kami menggoda Ali yang belum fasih berbicara, sehingga menjadi hiburan untuk kami. Bapak dan Ibunya Anton banyak bercerita mengenai masa kecil Anton, lalu aku sesekali meledek Anton yang kemudian tersipu malu. Suasana di malam itu begitu menyenangkan, bernuansa kekeluargaan yang selalu aku impikan dalam sebuah pernikahan kelak. Anton mengantarku sampai rumah, tapi ia menolak untuk masuk kedalam rumah. "Sudah terlalu malam, ga enak sama tetangga." Kata Anton.

Pagi ini adalah hari minggu, aku sengaja bangun pagi, karena sudah janji bersepeda dengan Anton. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba ada cicak terjatuh dikepalaku. Kata Bapak, jika kejatuhan cicak itu tandanya ada sesuatu buruk yang akan terjadi. "Ah kenapa aku jadi terpengaruh oleh kata-kata Bapak?" Batinku. Aku menghiraukannya dan lanjut mandi. Anton datang dengan sepedanya, lalu kami berdua bersepeda menuju alun-alun kota, karena disana acara Car Free Day tiap hari minggu pagi berlangsung. Kami melalui jalan raya, aku bersepeda didepan Anton. Tapi saat kami hendak menyeberang dengan sepeda kami, tiba-tiba dari arah samping kanan ada sebuah angkutan umum melaju kencang menerobos lampu lalu lintas yang bertanda merah saat itu dan menabrak Anton seketika. Lalu aku pun menjerit kencang dan tak beberapa lama aku pingsan.

Ku lihat dinding dan tirai yang berwarna putih. Lalu aku tersadar, kalau aku berada di rumah sakit. Kedua Orang Tuaku, Romi, Rafael dan Tante Mira ada disekelilingku. Mereka bahagia, aku baik-baik saja.

"Anton? Mana Anton? Dimana dia?" Tanyaku cemas.

"Dia diruang operasi. Kondisinya baik. Tapi..." Tante Mira seakan sulit untuk melanjutkan kata-katanya.

"Tapi kenapa, tante?"

"Tapi kedua kakinya harus diamputasi." Jawab Romi.

"Ha!!!" Aku terkejut. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anton masih selamat dan sedih karena ikut bersedih Anton kehilangan kedua kakinya.

Selesai Anton di operasi, aku meminta dokter untuk di perbolehkan menemani Anton. Dokter pun memperbolehkanku. Aku memeluk Ibunya Anton dan Tini, lalu aku memasuki ruangan dimana Anton dirawat. Aku menunggu Anton tersadar dan ketika Anton tersadar, aku pun langsung memegang tangannya sebelum dia mengetahui kalau kedua kakinya sudah diamputasi. Lalu aku bisikkan, "Aku akan selalu ada untukmu, menjadi istrimu dan menerimamu apa adanya."

(TAMAT)



Tidak ada komentar: